Kamis, 29 Januari 2009

Bidadari III

Kepedihan yang kurasakan akibat dari kejujuran dan kepolosan Ramdana, tidak hanya kurasakan kala ku tinggalkan ia dalam kesendirian di perempatan jalan itu. Namun kesan dari kecintaanku kepadanya begitu mendalam dan sangat sulit bagiku untuk meninggalkan semua perasan manusiawi itu. Aku tak pernah akan menginkari bahwa kecintaan itu telah membutakan hatiku dalam memaknai kesan cinta pertama yang datang dari seorang yang begitu tinggi pemujaanku terhadapnya, sampai tak ada yang dapat menggambarkan dirinya kecuali bidadari.
Ketika diriku dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang sangat menyakitkan itu, dengan emosi jiwaku yang masih sangat tidak berpengalaman, hampir bisa dikatakan bahwa tak akan ada perasaan sakit sebelum dan sesudahnya dari yang aku rasakan saat itu. Lamunanku kala dulu masih besar pengharapanku padanya, tidak bisa menandingi kebisuanku saat itu. Tak kala semua keluargaku bertanya-tanya tentang halku, aku sendiri tak tahu ada apa dengan diriku. Semakin dalam aku mengenang harapan dan asa, semakin sakit kurasakan. Meski sebenarnya tak pernah kuharapkan ia akan memenjadi seseorang yang berada dalam kehidupankku dan membahagiakanku.

Sampai suatu ketika, kejadian semakin memperpuruk keadaan hatiku, serasa keadaan sedang mempermainkanku. Pun harus diketahui bahwa saat-saat itu aku sama sekali belum mengenal Sang Pemberi keadaan. Jauh, sangat jauh sekali aku dengan Dia. Aku hanya mampu mengenal bahwa diriku memiliki agama sebagai identitas yang diwariskan kepadaku dari orang tuaku. Aku hanya tau bahwa aku memiliki kitab suci yang senantiasa diagungkan oleh yang sekeyakinan denganku. Bahkan ritual yang diwajibkan kepadaku sebanyak lima kali sehari semalam hanya aku lakukan tak kala ada kesempatan. Betapa malunya aku mengenang semua itu. Aku tak pernah tahu bahwa semua kejadian itu adalah sebuah teguran terhadapku yang tak kenal dengan yang Maha Memiliki segalanya.
Kejadian itu merupakan skenario yang sempurna untuk memperpuruk keadaanku. Masih jelas dalam ingatanku, ketika suatu waktu, yang ku ketahui setelah itu bahwa ia memang sengaja menungguku di tepi pantai, kami bertemu dalam deru suara ombak yang berirama seakan tahu keadaan hatiku yang sedang labil. Namun pertemuan itu tak seperti pertemuan sebelum-sebelumnya. Seakan dalam hati ingin membalikkan arah langkah kaki dan menjauh darinya, tak ada lagi getaran yang menggugah perasaanku untuk bisa betah bersama dengannya, tak ada. Tak sedikit senyumpun terlihat dari bibirnya. Ia menatap kosong ke arah pecahan ombak yang menimbulkan gemuruh yang bergejolak. Namun tak mampu mengalahkan gejolak jiwaku yang sedang terpuruk.
“Ram…!” entah dari mana rasa iba muncul dalam hatiku, kupaksakan untuk menyapanya.
“Ya…” tak sedikitpun pandangannya berubah dari arah sebelumnya, sendu.
“Aku tak pernah menyangka…” ku awali percakapan itu dengan suara parau, dan juga menatap ombak yang sedang berkejaran.
Diam, dia masih dalam diam. Mungkin tak ada yang mampu ia katakan.
“Apa yang akan kamu lakukan, Ram?” aku bertanya tanpa menoleh ke arahnya.
Tak ada jawaban dalam beberapa saat. Kembali ombak yang menguasai ruang kosong dari percakapan kami. Aku juga tak tahu harus menyambung dengan kalimat apa. Tidak ada jalan lain kecuali diam.
“Semua sudah terjadi, Wan…” ia menoleh, namun balutan abu-abu kehitaman yang menghiasi lingkaran matanya nampak begitu jelas menggambarkan jiwa dan perasaannya tak jauh terpuruk dari pada sakit yang kurasakan, bahkan aku bisa merasakan bahwa ia lebih sakit, aku iba.
“Iya, semua sudah terjadi. Dan kau tahu, siapa yang sakit akibat ini semua?.” Aku menoleh, dan kami bertatapan, tatapannya penuh tanda tanya. Aku dapat menangkap pertanyaan bahwa apakah ada yang tersakiti akibat hal yang telah menimpanya, dari tatapannya dapat kutangkap ketidak mengertian itu, dan dari tatapan matanya itu pula aku bisa menangkap ketidak mengertiannya selama ini dengan apa yang kurasakan terhadapnya.

Tidak ada komentar: