Jumat, 23 Januari 2009

Bidadari II

Setelah pertemuan yang ku anggap sakral itu, hari demi haripun berlanjut dengan perenungan, hayalan, pergolakan batin, dan semua perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya, yang belakangan ku ketahui bahwa itulah cinta pertama. Bidadari itu selalu ada dalam pelupuk mata, menghiasi tiap jengkal dinding kamarku, bergelantung di balkon, bertengger di jendela, duduk santai di tangga. Ah……. gila, serasa aku telah gila. Aku sudah tak dapat membedakan antara kicauan burung dan longlongan anjing. Tak lagi dapat ku bedakan manisnya jeruk dengan pahitnya buah pare, semua manis. Bidadari itu semakin menebarkan pesonanya, bidadari itu semakin nampak aura mistis kecantikannya, makin membuat aku tak dapat melihat antara kenyataan dan mimpi. Namun demikian, semua tetap sama, semua hanya berlalu dengan harapan dan kegundahan, aku masih tetap makhluk pemalu, insan penanggung kesakitan sejati yang tak mampu merangkai kata menyambung cerita untuk menyampaikan asa pada bidadari itu.

Sapaan lembut nan halus itu kembali tak dapat kuhindari, kembali terulang, dan terus berulang seiring bertambahnya hari.

“Wan… boleh nanya sesuatu nggak?” suatu ketika di sebuah persimpangan, dengan tanpa rasa ragu ia menyapaku. Kembali kukumpulkan tenaga, satu, dua, tiga…. Nafas ku tak beraturan, tebakan demi tebakan muncul di benakku, sampai suara yang baru ku sadari datang dari bibir yang lembut menyapa untuk yang kedua kalinya.

“Loh, kok mala diam wan..” oh…. Apa yang harus kukatakan, demi melihat paras yang hampir memakan tiap detik waktuku. Apa yang harus kukatakan, tak kala belum ku sadari bahwa semua itu hanya membuat sengsaraku tak berkesudahan, apa yang harus kukatakan tak kala ku lihat wajah yang jauh dari pengetahuanku ia akan menjadi tonggak perubahan dalam hidupku. Itu yang kurasakan saat itu, dan masih diam, masih mereka-reka, menimbang, apa yang akan di tanyakan. Akupun tak tahu bahwa aku harus mempersilahkannya bertanya untuk mengetahui pertanyaannya, semua itu karena kekaguman yang begitu luar biasa.

“Hei… ngelamun ya Wan…?” tambahnya lagi menyadarkan ku.
“Eh… iya.. kenapa…ada.. apa?” dahsyat, bibirku keluh.
“Boleh nan
ya nggak?” tambahnya lagi mmperjelas.
“oh..iya..ya… silahkan, apa yang mo ditanyakan” masih gugup.
“Gini Wan… ehm… tapi ini Cuma sekedar nanya.” Katanya lagi.
“Iya, mo nanya apa?” makin penasaran.
“Tapi, ada syaratnya….”
“ Apa…?”
“hal ini Cuma kita berdua yang tahu, nggak boleh ada orang lain yang tahu.” Tambahnya lagi.
“ Iya, janji…. Apa yang mau di tanyakan…?”
“Mmm…. Kamu tahu tempat ngegugurin kandungan nggak?” bagai gemuruh petir, pertany
aannya singkat, sesingkat gerakan kepalanya yang dengan seketika tertunduk, kulihat genangan bening menjalar di pipi bidadari itu, apa… apa yang kudengar tadi itu?. Aku mencoba meraba hatiku, menatanya dengan baik agar tidak terpuruk dalam kehancuran perasaan. Wajah itu masih menunduk dan terus menunduk, diam, bisu, apa yang harus kulakukan sekarang. Bidadari yang begitu kubanggakan, bidadari yang selalu menghiasi tiap nafasku, bidadari yang aku sendiri tidak bias mengukur sejauh mana iya telah berlabu di hatiku.

Apa yang harus kulakukan, apakah aku akan meninggalkan bidadariku ini dalam luka yang tak tertahankan?. Tapi, mengapa harus dia, mengapa harus orang yang kutambatkan cinta pertamaku yang mengalaminya?. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi kala itu, aku hanya bisa terpuruk dalam ketidak mampuanku untuk menerima kenyataan ini, menerima kenyataan bahwa bidadariku telah ternoda.

Bidadari itu masih terpaku dalam diam, sampai ku ambil keputusan untuk meninggalkannya, meninggalkan semua kesan indahku bersamanya, meninggalkan kekagumanku selama ini terhadapnya, meninggalkannya dalam diam di persimpangan, dan telah ku dapat pelajaran baru kala itu, Bahwa “Bidadari, tak cukup hanya dengan pandangan dzahir mata, tak hanya dengan suaru lembut dan gemualai, tak hanya cukup dengan tingkah rupawan nan menawan, untuk mengukur wujud bidadari, Namun semua tak dapat ditebak”

Tidak ada komentar: