Kamis, 26 Februari 2009

Pesan Terakhir...

Tok..tok..tok… samar-samar terdengar suara pintu kost-ku di ketuk oleh seseorang. kulihat wecker di sampingku, pukul 05:00. Siapa ya subuh-subuh begini bertamu, tak seperti biasanya, batinku bertanya.
“Assalamu alaikum…” suara seorang wanita yang parau, sangat ku kenal. Aku tak ingin membuat tamu subuh hari itu lama menunggu, langkahku pun kupercepat ke arah pintu untuk membukakan pintu tentunya.
“Wa alaikum salam, siapa?” sambil melangkah, aku menjawab salam dan bertanya siapa gerangan tamu dini hari tersebut. Namun tidak ada jawaban yang ku dengar. Kunci pintu kubuka, dan pintupun ku sibakkan. Betapa terkejutnya aku ketika ku lihat yang bertamu subuh ini adalah ibuku.

“Astagfirullah, maafkan bu. Aku lambat buka pintunya. Udah lama tibanya bu?” Ku jabat tangannya yang terasa sangat dingin, ku raih tas di tangannya dan mempersilahkannya masuk, Ia tak langsung menjawab pertanyaanku.
“Ada apa ni bu, kok tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan sebelumnya sih. Kan bisa ku jemput kalau tahu ibu pengen berkunjung.”
“Bagaimana keadaanmu Wan?” pertanyaan yang terasa berat ia keluarkan, iwan agak heran dengan keadaannya kali ini. wajahnnya begitu bersih, tingkah lakunya juga tak seperti biasanya, ia lebih banyak tersenyum dan diam. Ia sepert asing bagiku, aku masih bingung sampai aku minta izin untuk melaksanakan shalat subuh.
“Bu, Iwan shalat subuh dulu ya.” Aku pun meninggalkannya di ruang tengah tanpa jawaban. Sepanjang perjalanan ke kamar kecil, aku terus dibingungkan dengan keadaan ibu yang sangat beda subuh ini. Apa dia ada masalah dengan ayah ya?, tanyaku dalam hati.
***
“Wan, ke sini sebentar nak!” setelah shalat ku dengar ibu memanggilku, aku tidak melanjutkan dzikir pagiku dan langsung menuju ke ruang tengah memenuhi panggilan ibu.
“Duduk di sni Wan!” ia mempersilahkan ku duduk di sampingnya, masih dengan wajah yang agak pucat namun bercahaya dan aku pun duduk di sampingnya, terasa dingin.
“Wan, belajar yang giat ya, jangan seperti kakakmu yang terputus pendidikannya. Kamu harus bisa menjaga Dian dan Mimi adikmu karena mereka mengharapkan mu. Kamu tahu kan Mimi udah kelas tiga SMA dan tidak lama lagi ia kuliah, kau harus mampu menjaganya ya”
Tok..tok..tok..
“Assalamu alaikum..” sebelum aku berkomentar unutuk ibu, terdengar suara pintu di ketuk.
“Tunggu ya Bu, Iwan buka pintu dulu.” Ku tinggalkan ibu dan menuju ke pintu. Perlahan pintu ku buka dan aku tambah heran lagi, ku dapati Mimi adikku berdiri di depan pintu. Ia nampak sangat bersedih, kelihatan dari matanya yang masih bengkak pertanda banyak menangis.
“Ada apa Mi?, sendiri?, loh kok pagi-pagi gini..” belum selesai perkataanku, namun mimi sudah melommpat dalam pelukanku dan menangis sejadi-jadinya. Aku tak mengerti apa yang terjadi, apa ini ada kaitannya denga keadaan ibu yang juga nampak aneh.
“Kak, Ibu kak….” Masih sesenggukan ia memcoba untuk berbicara, namun kembali menangis. Aku membawanya ke dalam untuk menenangkannya.
“Tenang Mi, ada apa?. Kenapa dengan ibu?. Ada masalah apa? Duduk dulu Mi” aku memberondongnya denag pertanyaan. Tanpa ku sadari bahwa ibu tidak lagi berada di tempat duduknya.
“Kak, semalam ibu meninggal kak..” pecah sudah tangisnya yang tak terkendali.
“Ah, mimi nggak lucu tau, mana mungkin ibu meninggal. Tadi aja Ibu baru tiba dari kampung.” Aku tersenyum, ada-ada saja Mimi, pikirku dalam hati.
“Hah, kak… aku nggak bercanda kak. Ibu udah meninggal dan tidak mungkin bertamu ke sini.”
“Nggak percaya ya, Ibu….! Ibu….” Aku melangkah ke belakang, ke dapur, ke kamar tidur, ke kamar mandi dengan terus memanggil ibu dan terus memanggilnya sampai teriakkanku perlahan berubah menjadi getaran kesedihan ketika kenyataan ku dapatkan bahwa aku tidak menemukan ibu di setiap sudut rumah. Akupun tersungkur dalam kesediahan dan berubah menjadi sebuah tangisan. Mimi datang dan memelukku, juga dalam tangisan yang tak terbendung.
“Sabar ya kak….”
Dalam hati ku ingat pesan terakhir ibu untuk menjagamu Mi, aku berjanji akan menjagamu sekuatku. Selamat jalan Bu…

Sabtu, 21 Februari 2009

Fatimah...

Fathimah rha.adalah Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dia adalah puteri yang mulia dari pemimpin para makhluq, Rasulullah SAW, Abil Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Dia juga digelari Al-Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu, akhlaq, adab, hasab dan nasab. Fathimah rha.lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi' dan Ruqayyah, isteri Utsman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kul- tsum. Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau bersabda :"Fathimah rha.adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku." (Ibnul Abdil Barr dalam Al-Istii'aab)

Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni syurga yang paling utama, puteri kekasih Robbil'aalamiin, dan ibu dari Al-Hasan dan Al-Husein. Az-Zubair bin Bukar berkata :"Keturunan Zainab telah tiada dan telah sah riwayat, bahwa Rasulullah SAW menyelimuti Fathimah rha.dan suaminya serta kedua puteranya dengan pakaian seraya berkata :"Ya, Allah, mereka ini adalah ahli baitku. Maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya." ["Siyar A'laamin Nubala', juz 2, halaman 88]

Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :"Datang Fathimah rha.kepada Nabi SAW meminta pelayan kepadanya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya : "Ucapkanlah :"Wahai Allah, Tuhan pemilik bumi dan Arsy yang agung. Wahai, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu yang menurunkan Taurat, Injil dan Furqan, yang membelah biji dan benih. Aku berlindung kepada- Mu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau kuasai nyawanya. Engkau- lah awal dan tiada sesuatu sebelum-Mu. Engkau-lah yang akhir dan tiada sesuatu di atas-Mu. Engkau-lah yang batin dan tiada sesuatu di bawah- Mu. Lunaskanlah utangku dan cukupkan aku dari kekurangan." (HR. Tirmidzi)

Inilah Fathimah rha.binti Muhammad SAW yang melayani diri sendiri dan menanggung berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita- wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin. Di antara mereka yang keluar terdapat Fathimah. Ketika bertemu Nabi SAW, Fathimah rha.memeluk dan mencuci luka-lukanydengan air, sehingga darah semakin banyak yangk keluar. Tatkala Fathimah rha.melihat hal itu, dia mengambil sepotong tikar, lalu membakar dan membubuhkannya pada luka itu sehingga melekat dan darahnya berhenti keluar." (HR. Syaikha dan Tirmidzi)

Dalam kancah pertarungan tampaklah peranan puteri Muslim supaya menjadi teladan yang baik bagi pemudi Muslim masa kini. Pemimpin wanita penghuni Syurga Fathimah Az-Zahra', puteri Nabi SAW, di tengah-tengah pertempuran tidak berada dalam sebuah panggung yang besar, tetapi bekerja di antara tikaman-tikaman tombak dan pukulan- pukulan pedang serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin untuk menyampaikan makanan, obat dan air bagi para prajurit. Inilah gambaran lain dari puteri sebaik-baik makhluk yang kami persembahkan kepadada para pengantin masa kini yang membebani para suami dengan tugas yang tidak dapat dipenuhi.

Ali r.a. berkata :"Aku menikahi Fathimah, sementara kami tidak mempunyai alas tidur selain kulit domba untuk kami tiduri di waktu malam dan kami letakkan di atas unta untuk mengambil air di siang hari. Kami tidak mempunyai pembantu selain unta itu." Ketika Rasulullah SAW menikahkannya (Fathimah), beliau mengirimkannya (unta itu) bersama satu lembar kain dan bantal kulit berisi ijuk dan dua alat penggiling gandum, sebuah timba dan dua kendi. Fathimah rha.menggunakan alat penggiling gandum itu hingga melecetkan tangannya dan memikul qirbah (tempat air dari kulit) berisi air hingga berbekas pada dadanya. Dia menyapu rumah hingga berdebu bajunya dan menyalakan api di bawah panci hingga mengotorinya juga. Inilah dia, Az-Zahra', ibu kedua cucu Rasulullah SAW :Al-Hasan dan Al-Husein. Fathimah rha.selalu berada di sampingnya, maka tidaklah mengherankan bila dia meninggalkan bekas yang paling indah di dalam hatinya yang penyayang. Dunia selalu mengingat Fathimah rha., "ibu ayahnya, Muhammad", Al- Batuul (yang mencurahkan perhatiannya pada ibadah), Az-Zahra' (yang cemerlang), Ath-Thahirah (yang suci), yang taat beribadah dan menjauhi keduniaan. Setiap merasa lapar, dia selalu sujud, dan setiap merasa payah, dia selalu berdzikir.

Imam Muslim menceritakan kepada kita tentang keutamaan-keutamaannya dan meriwayatkan dari Aisyah' r.a. dia berkata : "Pernah isteri-isteri Nabi SAW berkumpul di tempat Nabi SAW. Lalu datang Fathimah rha.sambil berjalan, sedang jalannya mirip dengan jalan Rasulullah SAW. Ketika Nabi SAW melihatnya, beliau menyambutnya seraya berkata :"Selamat datang, puteriku." Kemudian beliau mendudukkannya di sebelah kanan atau kirinya. Lalu dia berbisik kepadanya. Maka Fathimah rha.menangis dengan suara keras. Ketika melihat kesedihannya, Nabi SAW berbisik kepadanya untuk kedua kalinya, maka Fathimah rha.tersenyum. Setelah itu aku berkata kepada Fathimah rha.:Rasulullah SAW telah berbisik kepadamu secara khusus di antara isteri-isterinya, kemudian engkau menangis!" Ketika Nabi SAW pergi, aku bertanya kepadanya :"Apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu ?" Fathimah rha.menjawab :"Aku tidak akan menyiarkan rahasia Rasul Allah SAW." Aisyah berkata :"Ketika Rasulullah SAW wafat, aku berkata kepadanya :"Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah kepadaku apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu itu ?" Fathimah rha.pun menjawab :"Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika berbisik pertama kali kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasanya memeriksa bacaannya terhadap Al Qur'an sekali dalam setahun, dan sekarang dia memerika bacaannya dua kali. Maka, kulihat ajalku sudah dekat. Takutlah kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahului-mu." Fathimah rha.berkata :"Maka aku pun menangis sebagaimana yang engkau lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku, dan berkata :"Wahai, Fathimah, tidakkah engkau senang menjadi pemimpin wanita-wanita kaum Mu'min atau ummat ini ?" Fathimah rha.berkata :"Maka aku pun tertawa seperti yang engkau lihat."

Inilah dia, Fathimah Az-Zahra'. Dia hidup dalam kesulitan, tetapi mulia dan terhormat. Dia telah menggiling gandum dengan alat penggiling hingg berbekas pada tangannya. Dia mengangkut air dengan qirbah hingga berbekas pada dadanya. Dan dia menyapu rumahnya hingg berdebu bajunya. Ali r.a. telah membantunya dengan melakukan pekerjaan di luar. Dia berkata kepada ibunya, Fathimah binti Asad bin Hasyim :"Bantulah pekerjaan puteri Rasulullah SAW di luar dan mengambil air, sedangkan dia akan bekerja di dalam rumah :yaitu membuat adonan tepung, membuat roti dan menggiling gandum." Tatkala suaminya, Ali, mengetahui banyak hamba sahaya telah datang kepada Nabi SAW, Ali berkata kepada Fathimah, "Alangkah baiknya bila engkau pergi kepada ayahmu dan meminta pelayan darinya." Kemudian Fathimah rha.datang kepada Nabi SAW. Maka beliau bertanya kepadanya :"Apa sebabnya engkau datang, wahai anakku ?" Fathimah rha.menjawab :"Aku datang untuk memberi salam kepadamu." Fathimah rha.merasa malu untuk meminta kepadanya, lalu pulang. Keesokan harinya, Nabi SAW datang kepadanya, lalu bertanya : "Apakah keperluanmu ?" Fathimah rha.diam. Ali r.a. lalu berkata :"Aku akan menceritakannya kepada Anda, wahai Rasululllah. Fathimah menggiling gandum dengan alat penggiling hingga melecetkan tangannya dan mengangkut qirbah berisi air hingga berbekas di dadanya. Ketika hamba sahaya datang kepada Anda, aku menyuruhnya agar menemui dan meminta pelayan dari Anda, yang bisa membantunya guna meringankan bebannya." Kemudian Nabi SAW bersabda :"Demi Allah, aku tidak akan memberikan pelayan kepada kamu berdua, sementara aku biarkan perut penghuni Shuffah merasakan kelaparan. Aku tidak punya uang untuk nafkah mereka, tetapi aku jual hamba sahaya itu dan uangnya aku gunakan untuk nafkah mereka." Maka kedua orang itu pulang. Kemudian Nabi SAW datang kepada mereka ketika keduanya telah memasuki selimutnya. Apabila keduanya menutupi kepala, tampak kaki-kaki mereka, dan apabila menuti kaki, tampak kepala-kepala mereka. Kemudian mereka berdiri. Nabi SAW bersabda :"Tetaplah di tempat tidur kalian. Maukah kuberitahukan kepada kalian yang lebih baik daripada apa yang kalian minta dariku ?" Keduanya menjawab :"Iya." Nabi SAW bersabda: "Kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, yaitu hendaklah kalian mengucapkan : Subhanallah setiap selesai shalat 10 kali, Alhamdulillaah 10 kali dan Allahu Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur, ucapkan Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan takbir (Allahu akbar) 33 kali."

Dalam mendidik kedua anaknya, Fathimah rha.memberi contoh : Adalah Fathimah rha.menimang-nimang anaknya, Al-Husin seraya melagukan :"Anakku ini mirip Nabi, tidak mirip dengan Ali." Dia memberikan contoh kepada kita saat ayahandanya wafat. Ketika ayahnya menjelang wafat dan sakitnya bertambah berat, Fathimah rha.berkata : "Aduh, susahnya Ayah!" Nabi SAW menjawab :"Tiada kesusahan atas Ayahanda sesudah hari ini." Tatkala ayahandanya wafat, Fathimah rha.berkata :

"Wahai, Ayah, dia telah memenuhi panggilang Tuhannya. Wahai, Ayah, di surga Firdaus tempat tinggalnya. Wahai, Ayah, kepada Jibril kami sampaikan beritanya."

Fathimah rha.telah meriwayatkan 18 hadits dari Nabi SAW. Di dalam Shahihain diriwayatkan satu hadits darinya yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam riwayat Aisyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud. Ibnul Jauzi berkata: "Kami tidak mengetahui seorang pun di antara puteri-puteri Rasulullah SAW yang lebih banyak meriwayatkan darinya selain Fathimah rha."

Imam Adz-Dzhabi telah meriwayatkan bahwa Fathimah rha.pernah mengeluh kepada Asma' binti Umais tentang tubuh yang kurus. Dia berkata :"Dapatkah engkau menutupi aku dengan sesuatu ?" Asma' menjawab :"Aku melihat orang Habasyah membuat usungan untuk wanita dan mengikatkan keranda pada kaki-kaki usungan." Maka Fathimah rha.menyuruh membuatkan keranda untuknya sebelum dia wafat. Fathimah rha.melihat keranda itu, maka dia berkata :"Kalian telah menutupi aku, semoga Allah menutupi aurat kalian." (Siyar A'laamin Nubala). Semacam itu juga dari Qutaibah bin Said ...dari Ummi Ja'far.

Ibnu Abdil Barr berkata :"Fathimah adalah orang pertama yang dimasukkan ke keranda pada masa Islam." Dia dimandikan oleh Ali dan Asma', sedang Asma' tidak mengizinkan seorang pun masuk. Ali r.a. berdiri di kuburnya dan berkata : Setiap dua teman bertemu tentu akan berpisah dan semua yang di luar kematian adalah sedikit kehilangan satu demi satu adalah bukti bahwa teman itu tidak kekal Semoga Allah SWT meridhoinya. Dia telah memenuhi pendengaran, mata dan hati. Dia adalah 'ibu dari ayahnya', orang yang paling erat hubungannya dengan Nabi SAW dan paling menyayanginya.

Ketika Nabi SAW terluka dalam Perang Uhud, dia keluar bersama wanita-wanita dari Madinah menyambutnya agar hatinya tenang. Ketika melihat luka-lukanya, Fathimah rha.langsung memeluknya. Dia mengusap darah darinya, kemudian mengambil air dan membasuh mukanya. Betapa indah situasi di mana hati Muhammad SAW berdenyut menunjukkan cinta dan sayang kepada puterinya itu. Seakan-akan kulihat Az-Zahra' a.s. berlinang air mata dan berdenyut hatinya dengan cinta dan kasih sayang. Selanjutnya, inilah dia, Az-Zahra', puteri Nabi SAW, puteri sang pemimpin. Dia memberi contoh ketika keluar bersama 14 orang wanita, di antara mereka terdapat Ummu Sulaim binti Milhan dan Aisyah Ummul Mu'minin rha. dan mengangkut air dalam sebuah qeribah dan bekal di atas punggungnya untuk memberi makan kaum Mu'minin yang sedang berperang menegakkan agama Allah SWT.

dikutip dari http://soni69.tripod.com/Islam/fatimah.htm

Senin, 09 Februari 2009

BIDADARI (bag. akhir)


Deburan ombak semakin menderu, membawaku ke dalam lamunan. Ram masih menatap laut dengan tatapan kosongnya. Terbayang dalam benakku penderitaan yang menimpa bidadariku yang terluka ini. Ku arahkan pandanganku padanya, meski hanya dengan menoleh sedangkan badan masih tetap menghadap ke laut. Aku berusaha untuk menyelami perasaannya, menyelami kebisuannya yang datang tiba-tiba. Akupun terjeabak dalam kebingungan, tak kutemukan kata-kata untuk membuyarkan kediaman di antara kami. Namun semakin kupikirkan kata-kata yang akan kugunakan, semakin hilang pula keberanianku untuk menegurnya. Bukan karena perasaan cinta yang dulu yang membuatku tak dapat berbicara, bukan karena takdzim, bukan… semua semata karena iba yang mendalam yang telah mulai kurasakan.
“Wan..”


Masih tetap menatap kosong ke arah laut.
Glek… lamunanku buyar, pandangan yang ku arahkan kepadanya dari tadi, cepat-cepat kualihkan ke arah deburan ombak yang masih saja berkejaran.
“Menurutmu, apa yang kulakukan ini adalah sebuah kesalahan?.”
Entah apa yang harus kukatakan, berfikir untuk menghilangkan kesunyian saja aku sangat sulit. Sekarang pertanyaan yang lebih sulit dari ujian semester dari mereka yang mengajarkanku ilmu di bangku penuntutan ilmu telah datang. Aku hanya diam, bukan… bukan diam, tapi berfikir, ya… sedang berfikir keras. Apakah ia salah, ataukah ia hanya korban kesalahan, korban sebuah kebuasan dari mereka yang merasa pintar, dari mereka yang telah melunturkan kecintaanku kepada bidadariku, dari mereka yang….
“Wan…!”
“Eem… ya!”
“ Aku salah ya…?”
Pandangan kami bertemu, buliran bening telah dengan leluasa melonjak dari persembunyiannya di tepi mata sang bidadari yang ternoda. Sumpah… aku tidak tega, sedikit lagi aku juga akan mengalirkan air yang sama jika sekiranya aku tidak malu terhadapnya. Aku masih menimbang dan terus berfikir.
“Ram…!”
Ku alihkan tatapan ku kearah lain, spekulasi atas kesediahanku.
“Apa yang harus di salahkan darimu, Ram…?”
Keluh bibir ini untuk berucap, aku telah mengawalinya dengan sesuatu yang bertentangan dengan ungkapan hatiku yang sebenarnya, aku telah memberinya jawaban yang sebenarnya aku tidak akan mampu meyakinkannya bahwa itulah pendapatku, karena kenyataan memang bukan begitu apa yang aku pikirkan. Aku ingin mengatakan kalau ia telah melakukan kesalahan besar, aku ingin mengatakan bahwa ia telah menghancurkan hatiku, aku ingin mengatakan bahwa…

“Tapi, mereka telah menganggapku salah, mereka semua mencapku kotor, mereka semua menganggapku perempuan najis…”
Tetesan demi tetesan dari buliran bening itu kini berubah menjadi deruh gemuruh air bah yang mengalir deras dan akan menenggelamkanku dalam kebingungan bahwa aku harus berkata apa. Aku hanya akan menjadi pendengar dari rintihan seorang yang pernah bersemayam di setiap relung hatiku. Aku hanya akan diam, diam dan terus diam. Kejadian yang menimpanya tidak lagi membuatnya peka terhadapa hal yang terjadi di sekitarnya, termasuk kecintaanku kepadanya, semuanya tak terdeteksi lagi.
Kami pun tak mendapatkan jalan keluar kecuali diam. Aku terbawa oleh arus lamunanku, aku terbawa ke masalah yang sebenarnya tidak menuntutku untuk merasakannya, sampai terdengar gesekan pasir pantai yang terseret dengan lamban. Aku menoleh ke arah Ramdana, aku hanya mendapati punggungnya yang telah bergerak menjauh tanpa kata-kata perpisahan, aku bisa merasakan ia kecewa tak mendapatkan jalan keluar dariku, dapat pula kurasakan ia berkata bahwa tak akan ada jalan keluar lagi untuk aib yang sedang menimpanya.
Seiring dengan hembusan angin yang khas suasana pantai, mengantar berjalannya mentari yang bersiap untuk menutup kehidupan siang pada hari itu, kuarahkan tatapanku kepadanya. Terus kuarahkan sampai hilang dalam dekapan perempatan jalan, ia berlalu meninggalkanku dalam kebingungan atas perasaanku sendiri. Aku masih sayang padanya, itu yang ada dalam benakku, ya… benakku, ia tidak lagi di hatiku.
Dinginnya subuh di suatu hari, mengantarku untuk terbangun di waktu yang hampir bisa di hitung dengan jari aku melakukannya, yang saat ini Allah telah menunjukkan kasih sayangnya dengan mengistiqamahkanku melakukannya, dan aku berharap Dia akan terus memberikan kemurahan itu, Shalat subuh. Namun sebelumnya, aku terpikir sejenak dengan keadaan yang menimpa Ramdana mantan bidadariku, ah… betulkah ia telah hilang dalam hatiku? Aku rasa belum. Aku teringat kejadian terakhir bersamanya di tepi pantai. Aku kembali memutar memori itu. Sampai kuputuskan untuk berangkat ke rumah Sang Pencipta Subuh. Mungkin yang pertama kalinya ku lakukan dalam hidupku. Padahal tempat suci itu tidak lah lebih dari pandangan mata yang masih jelas dari rumahku, sangat dekat. Namun telah ku sadari saat ini bahwa waktu itu aku belum ada kekutan untuk melakukan hal itu. Bukan kekuatan pisikku yang tidak mampu, namun ada kekuatan yang belum ku miliki saat itu.
Subuh itu menjadi sebuah waktu yang sangat berharga dan berkesan sekaligus mengharukan dalam hidupku. Aku masih berada di tempat berwudlu yang berada di samping kanan mesjid. Dari tempat itu sangat jelas bangunan megah yang indah dengan pagar yang tidak terlalu tinggi untuk menghalangi pandangan sampai ke badan rumah tersebut. Rumah itu, rumah yang sangat penuh dengan kesan keindahan dalam hatiku. Ya.. rumah tempat Ramdana berteduh dari rongrongan hujan dan terik mentari. Rumah tempat ia menghembuskan nafas yang terakhir di malam itu. Malam dimana untuk pertama kalinya aku ingin mendoakannya dalan shalat subuhku, subuh yang kurasakan sebagai subuh yang kelam. Ketika itu ku lihat rumah itu ramai dengan orang-orang, maka ku tanyakan hal yang terjadi pada salah seorang yang berada di sampingku.
“Emangnya ada apa di rumah Pak Rusli, Gus…?”
“Kamu belum tahu ya, Wan. tadi malam sekitar jam 3 Ram meninggal dunia.”
Saat itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi denganku. aku merasakan sesuatu yang sangat berharga dari diriku hilang begitu saja. Aku merasakan sesuatu yang pernah tumbuh dalam hatiku kini layu dan berguguran. Aku merasakan bahwa aku benar-benar mencintainya dan tak ingin kehilangan dirinya, tak ingin kehilangan bidadariku yang tercinta, tak ingin kehilangan cinta pertamaku. Yang lebih menyakitkanku waktu itu dan sampai saat ini adalah kematiaannya dengan cara yang sekarang aku tahu bahwa cara itu di benci oleh Allah, bunuh diri dengan racun.
Suatu hari, ketika semua itu telah kulupakan, ketika waktu telah bergeser selama enam tahun, ketika semua kenanganku tentang Ramdana telah berlalu, tanpa di sengaja aku mendapatkan wajah yang sangat tidak asing lagi bagiku. Waktu itu di sebuah halte bis, waktu yang semakin mendekati malam membawaku tergesa-gesa untuk menunggu bis yang akan mengantarku pulang, halte bis itu menjadi satu-satunya solusi. Beberapa menit aku menunggu bis yang akan mengantarku kembali ke peristirahatanku di kota tempat menuntut ilmu di bangku kuliah, Makassar. Aku tak menyadari keberadaan seorang gadis di sampingku, tanpa sengaja aku menolehkan pandanganku kepadanya, ia melirikku. Pandangan kami bertemu, takjub. Ramdana… kutatap lagi ia dengan teliti, hingga kudapati senyum di wajahnya. Ku lirik jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Tepat pukul 18:00 petang menjelang maghrib. Aku masih terdiam menatapnya, iya memalingkan pandangan. Iya begitu asing dalam penglihatanku, dengan baju kurung warna putih motif bunga melati membalut di badannya, tanpa jilbab. Ia membuang pandanganya jauh ke depan, ke arah yang aku tidak mengerti. Aku hanya terdiam, berpikir keras untuk mendapatkan kebenaran dalam pandanganku.
Bis yang aku tunggu pun datang, ku hentikan bis tersebut dengan berat hati. Aku masih ingin memperjelas apa yang ada di sampingku ini. Ia masih terdiam, duduk dalam kebisuan dan menggores tanda tanya yang beragam dalam benakku. Bis berhenti, dengan di liputi rasa penasaran aku pun naik ke atas bis yang kemudian perlahan bergerak. Setelah posisi dudukku sudah pada tempat yang nyaman, aku menoleh ke halte bis tadi, dan… tak seorangpun di sana. Lalu… tadi itu siapa?
Jadilah tulisan ini, aku kembali terkenang olehmu Ram…
Aku telah mendapatkan cintaku yang kesekian kalinya, namun apa yang kurasakan terhadapmu belum pernah terulang untuk ke dua kalinya. Akhirnya kuputuskan untuk mendapatkan cinta dari yang telah mengadakanmu. Cinta yang tidak akan pernah mati, cinta yang pasti tebalaskan, cinta yang tidak membutuhkan banyak keberanian untuk mengungkapkannya. Cinta dari Allah, rabbill ‘alamin.

Minggu, 08 Februari 2009

Kucing perdata IV




Ehm... ehm...
aku mo cerita ke dunia nih. Gini lo, waktu aku lagi jalan-jalan sore ama teman aku, ada yang menaraik yang lagi kami bahas gitu. tau nggak kami lagi ngebahas apaan?. "KUCING"....
he..he...he.....
Yup....
Itu yang kami bahas.
Menurut sahabatku, kucing itu banyak keanehannya, entah dari mana ia bisa ber-argument gitu. Namun seiring dengan langkah kami yang terus bergerak mengiring jalanan yang tak berujung, kami terus saja mendapatkan sesuatu yang unik pada hewan yang memiliki empat kaki tersebut.
eeeeemmmmm...........

apa ya?
banyak deh....
pokoknya, kucing itu sudah menjadi sangat istimewah dalam kehidupan kami. Nah, yang jadi permasalahan adalah Perdata IV, dari mana sehingga antara kucing ama Perdata IV bisa berhubungan dan menjadi sebuah judul tulisan...

mau tahu................?

ehm...ehm...
Gini lo, aku kan tinggalnya di Jalan Perdata IV, nah di asrama yang dihuni oleh tujuh tambah dua orang itu hidup keluarga kucing yang cukup besar. Nah dulu, ada diantara induk kucing itu yang melahirkan, namun proses melahirkannya itu penuh dengan tantangan dan ujian.... hehehe.... kucing di uji.....
iya, sang kucing (weleh..) udah menampakin gelakgak yang aneh pada hari dimana ia udah pengen ngelahirin anak. Sebelumnya sih kami udah tau kalo dia lagi hamil besar. Celakanya, tidak ada di antara penghuni asrama Perdata IV itu yang rela kainnya menjadi ranjang tempat melahirkan gitu.... akhirnya, si kucing yang udah kebelet ngelahirin anak terus aja bertarung mati-matian untuk melahirkan anaknya dengan selamat di tempat yang enak, nah tempat enak yang dimaksud sang kucing itu sendiri adalah tempat lipatan pakaian kami. Terang aja nggak ada yang rela...
Terjadilah tragedi kejar-kejaran dengan kucing hamil....
sementara aksi kejar-kejaran itulah sang kucing tadi ngelahirin anaknya...
wal hasil anaknya lahir di jalan deh...
kasihan juga ya...
tapi.........
bukan cuma ampe di situ aja...
selanjutnya, anak kucing keluar berjumlah 4 itu mati semua...
hiks..hiks..hiks... merasa bersalah?
yup, seisi asrama merasa bersalah, kecuali aku.... (wah, nggak berpri kemanusiaan nih! eh, prikehewanan, yup... itu...). Aku sama sekali nggak mersa bersalah, lah wong udah ajal mereka koq. he...he...he... (FIKSI ni)
eh, bukannya ikutan bersedih, tu induk kucing malah netein kucing lain, yang bisa saja dia itu bapak dari kucing yang meninggal tadi...
wah...wah...wa...w...
ini aneh nggak?
bagi aku sih aneh, nggak tahu dengan kalian. Bisa aja nggak aneh lagi.....
nah.....
tau nggak?
sekarang itu kucing menjadi salah satu ICON dari asrama yang di sebut dengan sebutan LASKAR WANGI... (LASKAR WANGI dibahas nggak ya...?)
nggak usah
udah ada yang bahas di tempat lain koq, kunjungi aja ni.
udah dulu ya.......