Senin, 09 Februari 2009

BIDADARI (bag. akhir)


Deburan ombak semakin menderu, membawaku ke dalam lamunan. Ram masih menatap laut dengan tatapan kosongnya. Terbayang dalam benakku penderitaan yang menimpa bidadariku yang terluka ini. Ku arahkan pandanganku padanya, meski hanya dengan menoleh sedangkan badan masih tetap menghadap ke laut. Aku berusaha untuk menyelami perasaannya, menyelami kebisuannya yang datang tiba-tiba. Akupun terjeabak dalam kebingungan, tak kutemukan kata-kata untuk membuyarkan kediaman di antara kami. Namun semakin kupikirkan kata-kata yang akan kugunakan, semakin hilang pula keberanianku untuk menegurnya. Bukan karena perasaan cinta yang dulu yang membuatku tak dapat berbicara, bukan karena takdzim, bukan… semua semata karena iba yang mendalam yang telah mulai kurasakan.
“Wan..”


Masih tetap menatap kosong ke arah laut.
Glek… lamunanku buyar, pandangan yang ku arahkan kepadanya dari tadi, cepat-cepat kualihkan ke arah deburan ombak yang masih saja berkejaran.
“Menurutmu, apa yang kulakukan ini adalah sebuah kesalahan?.”
Entah apa yang harus kukatakan, berfikir untuk menghilangkan kesunyian saja aku sangat sulit. Sekarang pertanyaan yang lebih sulit dari ujian semester dari mereka yang mengajarkanku ilmu di bangku penuntutan ilmu telah datang. Aku hanya diam, bukan… bukan diam, tapi berfikir, ya… sedang berfikir keras. Apakah ia salah, ataukah ia hanya korban kesalahan, korban sebuah kebuasan dari mereka yang merasa pintar, dari mereka yang telah melunturkan kecintaanku kepada bidadariku, dari mereka yang….
“Wan…!”
“Eem… ya!”
“ Aku salah ya…?”
Pandangan kami bertemu, buliran bening telah dengan leluasa melonjak dari persembunyiannya di tepi mata sang bidadari yang ternoda. Sumpah… aku tidak tega, sedikit lagi aku juga akan mengalirkan air yang sama jika sekiranya aku tidak malu terhadapnya. Aku masih menimbang dan terus berfikir.
“Ram…!”
Ku alihkan tatapan ku kearah lain, spekulasi atas kesediahanku.
“Apa yang harus di salahkan darimu, Ram…?”
Keluh bibir ini untuk berucap, aku telah mengawalinya dengan sesuatu yang bertentangan dengan ungkapan hatiku yang sebenarnya, aku telah memberinya jawaban yang sebenarnya aku tidak akan mampu meyakinkannya bahwa itulah pendapatku, karena kenyataan memang bukan begitu apa yang aku pikirkan. Aku ingin mengatakan kalau ia telah melakukan kesalahan besar, aku ingin mengatakan bahwa ia telah menghancurkan hatiku, aku ingin mengatakan bahwa…

“Tapi, mereka telah menganggapku salah, mereka semua mencapku kotor, mereka semua menganggapku perempuan najis…”
Tetesan demi tetesan dari buliran bening itu kini berubah menjadi deruh gemuruh air bah yang mengalir deras dan akan menenggelamkanku dalam kebingungan bahwa aku harus berkata apa. Aku hanya akan menjadi pendengar dari rintihan seorang yang pernah bersemayam di setiap relung hatiku. Aku hanya akan diam, diam dan terus diam. Kejadian yang menimpanya tidak lagi membuatnya peka terhadapa hal yang terjadi di sekitarnya, termasuk kecintaanku kepadanya, semuanya tak terdeteksi lagi.
Kami pun tak mendapatkan jalan keluar kecuali diam. Aku terbawa oleh arus lamunanku, aku terbawa ke masalah yang sebenarnya tidak menuntutku untuk merasakannya, sampai terdengar gesekan pasir pantai yang terseret dengan lamban. Aku menoleh ke arah Ramdana, aku hanya mendapati punggungnya yang telah bergerak menjauh tanpa kata-kata perpisahan, aku bisa merasakan ia kecewa tak mendapatkan jalan keluar dariku, dapat pula kurasakan ia berkata bahwa tak akan ada jalan keluar lagi untuk aib yang sedang menimpanya.
Seiring dengan hembusan angin yang khas suasana pantai, mengantar berjalannya mentari yang bersiap untuk menutup kehidupan siang pada hari itu, kuarahkan tatapanku kepadanya. Terus kuarahkan sampai hilang dalam dekapan perempatan jalan, ia berlalu meninggalkanku dalam kebingungan atas perasaanku sendiri. Aku masih sayang padanya, itu yang ada dalam benakku, ya… benakku, ia tidak lagi di hatiku.
Dinginnya subuh di suatu hari, mengantarku untuk terbangun di waktu yang hampir bisa di hitung dengan jari aku melakukannya, yang saat ini Allah telah menunjukkan kasih sayangnya dengan mengistiqamahkanku melakukannya, dan aku berharap Dia akan terus memberikan kemurahan itu, Shalat subuh. Namun sebelumnya, aku terpikir sejenak dengan keadaan yang menimpa Ramdana mantan bidadariku, ah… betulkah ia telah hilang dalam hatiku? Aku rasa belum. Aku teringat kejadian terakhir bersamanya di tepi pantai. Aku kembali memutar memori itu. Sampai kuputuskan untuk berangkat ke rumah Sang Pencipta Subuh. Mungkin yang pertama kalinya ku lakukan dalam hidupku. Padahal tempat suci itu tidak lah lebih dari pandangan mata yang masih jelas dari rumahku, sangat dekat. Namun telah ku sadari saat ini bahwa waktu itu aku belum ada kekutan untuk melakukan hal itu. Bukan kekuatan pisikku yang tidak mampu, namun ada kekuatan yang belum ku miliki saat itu.
Subuh itu menjadi sebuah waktu yang sangat berharga dan berkesan sekaligus mengharukan dalam hidupku. Aku masih berada di tempat berwudlu yang berada di samping kanan mesjid. Dari tempat itu sangat jelas bangunan megah yang indah dengan pagar yang tidak terlalu tinggi untuk menghalangi pandangan sampai ke badan rumah tersebut. Rumah itu, rumah yang sangat penuh dengan kesan keindahan dalam hatiku. Ya.. rumah tempat Ramdana berteduh dari rongrongan hujan dan terik mentari. Rumah tempat ia menghembuskan nafas yang terakhir di malam itu. Malam dimana untuk pertama kalinya aku ingin mendoakannya dalan shalat subuhku, subuh yang kurasakan sebagai subuh yang kelam. Ketika itu ku lihat rumah itu ramai dengan orang-orang, maka ku tanyakan hal yang terjadi pada salah seorang yang berada di sampingku.
“Emangnya ada apa di rumah Pak Rusli, Gus…?”
“Kamu belum tahu ya, Wan. tadi malam sekitar jam 3 Ram meninggal dunia.”
Saat itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi denganku. aku merasakan sesuatu yang sangat berharga dari diriku hilang begitu saja. Aku merasakan sesuatu yang pernah tumbuh dalam hatiku kini layu dan berguguran. Aku merasakan bahwa aku benar-benar mencintainya dan tak ingin kehilangan dirinya, tak ingin kehilangan bidadariku yang tercinta, tak ingin kehilangan cinta pertamaku. Yang lebih menyakitkanku waktu itu dan sampai saat ini adalah kematiaannya dengan cara yang sekarang aku tahu bahwa cara itu di benci oleh Allah, bunuh diri dengan racun.
Suatu hari, ketika semua itu telah kulupakan, ketika waktu telah bergeser selama enam tahun, ketika semua kenanganku tentang Ramdana telah berlalu, tanpa di sengaja aku mendapatkan wajah yang sangat tidak asing lagi bagiku. Waktu itu di sebuah halte bis, waktu yang semakin mendekati malam membawaku tergesa-gesa untuk menunggu bis yang akan mengantarku pulang, halte bis itu menjadi satu-satunya solusi. Beberapa menit aku menunggu bis yang akan mengantarku kembali ke peristirahatanku di kota tempat menuntut ilmu di bangku kuliah, Makassar. Aku tak menyadari keberadaan seorang gadis di sampingku, tanpa sengaja aku menolehkan pandanganku kepadanya, ia melirikku. Pandangan kami bertemu, takjub. Ramdana… kutatap lagi ia dengan teliti, hingga kudapati senyum di wajahnya. Ku lirik jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Tepat pukul 18:00 petang menjelang maghrib. Aku masih terdiam menatapnya, iya memalingkan pandangan. Iya begitu asing dalam penglihatanku, dengan baju kurung warna putih motif bunga melati membalut di badannya, tanpa jilbab. Ia membuang pandanganya jauh ke depan, ke arah yang aku tidak mengerti. Aku hanya terdiam, berpikir keras untuk mendapatkan kebenaran dalam pandanganku.
Bis yang aku tunggu pun datang, ku hentikan bis tersebut dengan berat hati. Aku masih ingin memperjelas apa yang ada di sampingku ini. Ia masih terdiam, duduk dalam kebisuan dan menggores tanda tanya yang beragam dalam benakku. Bis berhenti, dengan di liputi rasa penasaran aku pun naik ke atas bis yang kemudian perlahan bergerak. Setelah posisi dudukku sudah pada tempat yang nyaman, aku menoleh ke halte bis tadi, dan… tak seorangpun di sana. Lalu… tadi itu siapa?
Jadilah tulisan ini, aku kembali terkenang olehmu Ram…
Aku telah mendapatkan cintaku yang kesekian kalinya, namun apa yang kurasakan terhadapmu belum pernah terulang untuk ke dua kalinya. Akhirnya kuputuskan untuk mendapatkan cinta dari yang telah mengadakanmu. Cinta yang tidak akan pernah mati, cinta yang pasti tebalaskan, cinta yang tidak membutuhkan banyak keberanian untuk mengungkapkannya. Cinta dari Allah, rabbill ‘alamin.

Tidak ada komentar: