Perjalanan yang mengesankan adalah perjalanan pagi hari, ketika semua penuntut ilmu berangkat menuju lahan tuntutan masing-masing. Bidadari itu akan menghiasi perjalanan pagiku, namun tak sepenggalpun keberanian dalam hati ini untuk menyampaikan kepadanya tentang perasaan ini. Langkah hanya mengalun, mengalun, dan mengalun, tanpa ada kata yang terucap untuk sbuah pengakuan sakral, cinta pertama.
“kok cuma diam wan?” mata itu, tak mampu sedikitpun ku menatapnya.
“eh.. anu…. kenapa….?” Hanya itu yang kulakukan, gugup.
Hari-hariku berlajut dengan irama yang monoton. Irama yang sama dan tak berubah, irama menyakitkan yang kerap kali di sesali. Ah……. Bodoh.
Masih teringat dalam ingatanku, dan takkan pernah kulupakan. Suatu ketika, di tepi pantai. Sebuah pertemuan yang tak pernah di rencanakan, langkah yang lemah gemulai dari jauh dapat tertangkap oleh pandanganku, aku yakin itu dia, bidadariku. Dada berdebar, tensi darahku naik, nervous. Perasaan itu tak hilang seiring langkahnya yang semakin mendekatiku.
“Dari mana wan..?” oh Tuhan, senyuman manis itu, tak bisa kulupakan dan tak ingin ku lupakan. Suara merdu itu, nyanyian merdu bidadari yang menanti mujahid di divan-divan mereka, indah.
“Dari… dari… rumah” ku jawab sekenanya, bahkan aku sendiri luapa aku dari mana sebelumnya, dahsyat.
“Sendiri..?” pertanyaan itu bagai dawai biola yang di gesek dengan sentuhan yang sangat lembut, yang melahirkan desiran ringan dalam hatiku.
“Iya, kamu sendiri dari mana?.” Kukumpulkan ribuan kekuatan untuk menanyakan pertanyaan itu. Tak kuharapkan jawaban apapun, yang ada hanya mengisi ruang yang kosong dari percakapan. Bebtapa naifnya aku ini, bidadari itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar