Jumat, 22 Mei 2009

BIDADARI (bag I)


Enam tahun silam, wajah itu selalu menjadi bunga dalam kehidupanku. Kelembutan dan kepolosannya seakan membakar perasaan manusiawiku sebagai seorang laki-laki normal. Tak kala rembulan itu melintas di arah pandanganku, semerbak keharuman jiwa bidadari akan merasuk dan menusuk sampai ke palung hatiku. Keindahan wajahnya telah memancarkan cahaya dan menerangi segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupannya. Sehingga setiap jengkal halaman rumahnya akan sangat indah di mataku, keluarganya menjadi orang yang sangat mulia dalam pandanganku, ayam-ayamnya menjadi hewan ternak yang ingin ku ternakkan dengan suka hati. Namun pada hakikatnya bukan taman itu, bukan keluarga itu, bukan ayam-ayam itu, tapi seseorang yang mewarnai kehidupannya dengan semua itu yang menjadikanku seperti itu.

Perjalanan yang mengesankan adalah perjalanan pagi hari, ketika semua penuntut ilmu berangkat menuju lahan tuntutan masing-masing. Bidadari itu akan menghiasi perjalanan pagiku, namun tak sepenggalpun keberanian dalam hati ini untuk menyampaikan kepadanya tentang perasaan ini. Langkah hanya mengalun, mengalun, dan mengalun, tanpa ada kata yang terucap untuk sbuah pengakuan sakral, cinta pertama.
“kok cuma diam wan?” mata itu, tak mampu sedikitpun ku menatapnya.
“eh.. anu…. kenapa….?” Hanya itu yang kulakukan, gugup.
Hari-hariku berlajut dengan irama yang monoton. Irama yang sama dan tak berubah, irama menyakitka
n yang kerap kali di sesali. Ah……. Bodoh.
Masih teringat dalam ingatanku, dan takkan pernah kulupakan. Suatu ketika, di tepi pantai. Sebuah pertemuan yang tak pernah di rencanakan, langkah yang lemah gemulai dari jauh dapat tertangkap oleh pandanganku, aku yakin itu dia, bidadariku. Dada berdebar, tensi darahku naik, nervous.
Perasaan itu tak hilang seiring langkahnya yang semakin mendekatiku.
“Dari mana wan..?” oh Tuhan, senyuman manis itu, tak bisa kulupakan dan tak ingin ku lupakan. Suara merdu itu, nyanyian merdu bidadari yang menanti mujahid di divan-divan mereka, indah.
“Dari… dari…
rumah” ku jawab sekenanya, bahkan aku sendiri luapa aku dari mana sebelumnya, dahsyat.
“Sendiri..?” pertanyaan itu bagai dawai biola yang di gesek dengan sentuhan yang sangat lembut, yang melahirkan desiran ringan dalam hatiku.
“Iya, kamu sendiri dari mana?.” Kukumpulkan ribuan kekuatan untuk menanyakan pertanyaan itu. Tak kuharapkan jawaban apapun, yang ada hanya mengisi ruang yang kosong dari percakapan. Bebtapa naifnya aku ini, bidadari itu.

Tidak ada komentar: